Petrova, alias Petroleum Festival merupakan sebuah acara yang dipersembahkan oleh Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Seksi Mahasiswa UI (IATMI SM UI) dalam rangka merayakan hari ulang tahun IATMI SMUI yang ke-10. Di tahun 2015 ini, Project Officer (Farah Mouldyia, Teknik Kimia 2013) memutuskan untuk mengambil tema “Memahami Kebijakan Energi Nasional dalam Mewujudkan Kemandirian Energi Berbasis Aspek Ekonomi Politik dan Lingkungan.” Rangkaian kegiatan yang ada dalam acara Petrova 2015 ini diantaranya adalah Smart Competition, Oil Rig Competition, Forum Diskusi, Social Event, Gala Dinner, dan yang tak pernah absen adalah acara Seminar. Dalam postingan kali ini, yang akan lebih banyak dibahas adalah mengenai acara seminar yang diadakan di Ruangan Kuantum pada tanggal 19 September 2015 lalu. Acara seminar ini dibagi ke dalam 2 sesi. Sesi pertama dibawakan oleh Bapak Paul E. Mustakin yang merupakan General Manager Policy Government & Public Affairs di Chevron Geothermal Indonesia. Sesi ini membahas tentang “Kendala Berkembangnya Energi Geotermal di Indonesia.” Sedangkan sesi kedua yang membahas “Overview of Coal Bed Methane (CBM)” dibawakan oleh Ir. Moektianto Soeryowibowo yang merupakanVice President Exploration Indonesia di BP.
Seminar sesi pertama diawali dengan pemaparan mengenai National Energy Policy atau Kebijakan Energi Nasional yang tercantum dalam PP No.79/2014, serta rencana strategis dalam hal pemakaian energi dalam rentang tahun 2015-2019. Di tahun 2014, pemakaian minyak bumi masih sangat tinggi yaitu 41%, dibandingkan dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang hanya 6%. Diharapkan pada tahun 2020, jumlah pemakaian minyak bumi berkurang, dan sebaliknya pemakaian EBT meningkat, sehingga di tahun 2025 pemakaiannya bisa sebanding (EBT 23% dan minyak bumi 25%). Berkaitan dengan energi geotermal, Pak Paul juga memaparkan bahwa dalam 23% penggunaan energi terbarukan, 13% nya merupakan kontribusi dari energi geotermal yang bisa menyumbangkan listrik sebanyak 9,500 MW. Diberitahukan juga mengenai keadaan pemakaian energi geotermal di Indonesia, bahwa ada 28,910 MW potensi sumber energi geotermal di 312 lokasi di Indonesia yang hingga sekarang baru dimanfaatkan sebanyak 1.403,5 MW (dengan produksi terbesar oleh Chevron Geothermal Salak di Field Salak). Oleh karena, dibuatlah suatu target dalam Road Map Pengembangan Panas Bumi yaitu pada tahun 2025, Indonesia harus bisa memanfaatkan sumber energi geothermal itu sebanyak 7.094,5 MW. Dalam sesi ini, juga dipaparkan mengenai hal positif dan negatif dari industri geotermal, begitu juga dengan isu-isu yang harus dihadapi oleh setiap industri, misalnya sumber energy geothermal harus bersaing dengan batubara padahal energi geotermal memiliki resiko yang lebih tinggi. Secara operasional, tantangannya adalah data yang minimum, resiko kegiatan eksplorasi, dan akses ke site yang sulit dengan minimnya infrastruktur. Namun, dengan adanya kebijakan hukum yang baru untuk energi geothermal (Permen 17/2014 dan Hukum Geotermal Baru no.21/2014), Chevron memiliki banyak rencana untuk ke depannya berkaitan dengan kebijakan baru ini. Beberapa yang ingin difokuskan diantaranya adalah tentang FTP II 35 GW, regulasi tender and foresty, serta harga. Pemaparan mengenai Geotermal ditutup dengan pesan yang disampaikan bahwa harus adanya rencana strategis secara nasional untuk mempromosikan pengembangan energi geotermal secara gencar sangat diperlukan. Oleh karena itu, hal ini membutuhkan terobosan yang signifikan. Dan di akhir sesi, Pak Paul memberikan presentasi mengenai apa saja yang sudah dilakukan oleh Chevron dalam usaha tersebut dan tentang pencapaian luar biasa yang sudah diraih.
Pada seminar sesi 2, dibahas sebuah topic yang tak kalah hot nya, yaitu tentang Coal Bed Methane (CBM), dalam hal keuntungan dan tantangan. Sebagai pendahuluan, pembicara (Ir. Moektianto Soeyowibowo, M.Sc) mengemukakan tantang keadaan CBM di dunia bahwa terdapat lebih dari 10.000 Tcf untuk sumber yang potensial., namun hanya sedikit sekali yang dimanfaatkan. Kemudian dijelaskan juga secara umum dan singkat mengenai persyaratan yang dibutuhkan agar CBM dapat bekerja dengan baik, proses pembentukan batubara, batubara yang berkualitas tinggi, dan dasar-dasar produksi CBM. Produksi CBM secara umum memiliki laju produksi yang rendah, laju produksi gas secara inisial meningkat seiring dengan terbentuknya air dan penurunan tekanan serta factor lain, selain itu sumber gas banyak namun sedikit usaha pemulihan sumber. Ada juga grafik-grafik yang menyatakan produksi CBM dari 23 sumur yang aktif sekarang. Diberikan juga gambar-gambar infrastruktur di permukaan yang menarik, infrastruktur yang dibutuhkan diantaranya sistem pipa, kompresor, dan pabrik pengolahan air. Dalam eksploitasi CBM, diperlukan 3 hal yaitu operasi yang intensif, area operasi yang besar untuk pengembangan, dan investasi capital yang besar. Dibalik semangat pengembangan CBM, ada beberapa tantangan dan resiko yang harus dihadapi. Tantangan yang dihadapi berupa tanggung jawab terhadap pemulihan lingkungan apabila produksi CBM ini mencemari lingkungan, yang akan berujung pada konflik dengan aktivitas produksi lain dan pemilik lahan. Dengan adanya isu bahwa Indonesia sedang berada dalam bahaya krisis energi, harus ada optimalisasi pengelolaan energy dengan cara mengurangi pemakaian minyak bumi dan beralih meningkatkan energy lain salah satunya batubara. Jika di tahun 2005 pemakaian minyak bumi mencapai 54,70% dan batubara hanya 16,77%, maka di tahun 2025 ditargetkan pemakaian minyak bumi hanya 20% dan batubara meningkat hingga 33%. Pak Moekti juga menyampaikan sebuah Road Map untuk pengembangan CBM di Indonesia, yang di tahun ini produksinya hanya mencapai 500 MMSCFD, di tahun 2025 diestimasikan produksi CBM akan mencapai angka 1500 MMSFCD. Pada akhirnya, Pak Moekti menekankan bahwa pengelolaan CBM akan berjalan dengan lancar jika ada keseimbangan antara 3 hal penting, yaitu resource and technical services, regulatory framework, dan fiscal terms & gas price. (Ananda Santia)